PERTANAHAN DI PAPUA PERLU MANAJEMEN BARU
Komisi II DPR yang membidangi masalah Pemerintahan Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Aparatur Negara, Agraria dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan kunjungan kerja ke Kantor Badan Pertanahan Nasional RI Kantor Wilayah Prop. Papua dipimpin Ketua Tim/Wkl. Ketua Komisi II DPR RI Ganjar Pranowo.
Kedatangan rombongan Komisi II DPR untuk langsung mendengar bagaimana penanganan masalah tanah di Papua, bagaimana kesadaran masyarakat untuk mengurus sertifikat tanahnya, bagaimana mengatasi persoalan tanah di Papua dan bagaimana antisipasi BPN dalam mengantisipasi pertumbuhan penduduk pertahunnya. Kamis (28/10).
Wakil Ketua Komisi II DPR, Ganjar Pranowo, mengatakan, jika dilihat dari permasalahan tanah di Papua sebagaimana yang dipaparkan dalam dengar pendapat tersebut, dalam penanganan masalah tanah di Papua diperlukan manajemen baru.
Dalam penanganan masalah pertanahan diperlukan suatu pendekatan baru, perlu melibatkan tokoh-tokoh yang mengerti mengenai masalah tanah ini, misalnya perlu keterlibatan seorang antropologi dan pakar pakar yang terkait masalah pertanahan.
“saya jelaskan bahwa penyusunan sistem pertanahan di Papua mesti melibatkan tokoh yang mengerti pada persoalan itu. Coba bayangkan saja kurang lebih 200 tanah adat yang berbeda di tanah Papua ini yang memang kenyataannya memerlukan seorang antropologs untuk turut menangani masalah status tanah itu,’ ungkapnya.
Diperlukannya keterlibatan para pakar pertanahan dan budaya, mengingat bahwa ada hal-hal yng sangat sulit dibedakan dengan hukum nasional, yang kenyataan seringkali bertentangan dengan hak ulayat dan adat itu sendiri.
Setelah adanya titik temu antara hukum nasional dan hukum adat, maka akan menghasilkan suatu data base pertanahan yang jelas, yang mana tidaak ada lagi batas-batas tanahyang bisa diukur dengan teknologi, yang kemudian berdampak pada kepemilikannya hak atas tanah yang jelas pula.
Dengan demikian yang pada gilirannya akan melahirkan suatu kesadaran masyarakat terhadap pertanahan, yang berakhir dengan mendapatkan sebuah dokumen hukum yang pasti dan mempunyai nilai lebih, yang lebih utama lagi dapat digunakan untuk usaha-usaha ekonomi produktif rakyat.
Ditempat yang sama, Kepala Kantor BPN Papua Gembira Perangin-Angin menandaskan bahwa sejak tahun 2006 sampai 2010 ini jumlah sengketa tanah yang masuk sebanyak 133 dan yang dapat diselesaikan sebanyak 45 kasus, sedangkan sisanya 88 belum selesai dan ini tersebar di sejumlah kabupaten/kota.
Hal yang menjadi sumber timbulnya sengketa tanah, antara lain, masalah kepemilikan adat/ulayat baik individu maupun kelompok, tumpang tindihnya pengakuan kepemilikan tanah adat/ulayat, masalah tuntutan kembali tanah yang pernah dilepaskan, masalah tanah objek perjanjian antara masyarakat adat dengan pemerintah Belanda, perbedaan penafsiran antara masyarakat dengan pemerintah dalam penerapan hukum positif dalam peraturan pelaksanaannya.
“Hambatan yang kami alami dalam penyelesaian sengketa tanah itu yakni, luas wilayah, sehingga sulit untuk berkoordinasi memanggil para pihak yang bersengketa. Kesadaran masyarakaat tentang hukum pertanahan masih rendah, sehingga masyarakat adat tidak mau mengajukan gugatan ke lembaga peradilan, kurang SDM baik kuantitas maupun kualitas penyelesaian sengketa, kurangnya sarana pendukung dan terbatasnya anggaran penyelesaian kasus pertanahan,” terangnya. Selasa 02/11 (hr/tvp).